Menyambut Hari Raya Idul Fitri
Hari Raya ‘Iedul Fitri / ‘Idul
Fitri
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh,
Sudah
tidak berasa bulan Ramadhan sedikit lagi selesai, dan kita akan merayakan hari
Idul Fitri yang dilaksanakan insyaallah tanggal 1 Syawal atau sama saja hari
Jumat, juni 2018 ini. Kali ini kami akan mengulas Hari Raya Idul Fitri ini
mulai dari pengertian, sejarah, sunnah, hingga kemungkarang yang sering terjadi
di bulan Syawal / pada hari raya Idul Fitri.
Tiap
tanggal 1 Syawal kita berhari raya ‘Iedul Fitri. Wahai Saudariku, ketahuilah
bahwa hari raya ini merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada umat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah
memberikan berbagai macam kebaikan yang kepada kita sebagai hambaNya. Diantara
kebaikan itu adalah berbuka setelah adanya larangan makan dan minum selama
bulan suci Romadhan dan kebaikan berupa diperintahkannya mengeluarkan zakat
fitrah.
A.
Definisi ‘Ied / ‘Id
Kata
“Ied” menurut bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang kembali berulang-ulang, baik
dari sisi waktu atau tempatnya. Kata ini berasal dari kata “Al ‘Aud” yang
berarti kembali dan berulang. Dinamakan “Al ‘Ied” karena pada hari tersebut
Alloh memiliki berbagai macam kebaikan yang diberikan kembali untuk
hamba-hambaNya, yaitu bolehnya makan dan minum setelah sebulan dilarang
darinya, zakat fithri, penyempurnaan haji dengan thowaf, dan penyembelihan daging
kurban, dan lain sebagainya. Dan terdapat kebahagiaan, kegembiraan, dan
semangat baru dengan berulangnya berbagai kebaikan ini. (Ahkamul ‘Iedain,
Syaikh Ali bin Hasan).
Perlu
diperhatikan, saat ini telah menyebar di kalangan masyarakat, bahwa makna “Iedul
Fitri” adalah kembali kepada fitroh (suci) karena dosa-dosa kita telah
terhapus. Hal ini kurang tepat, baik secara tinjauan bahasa maupun istilah
syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri” demikian,
seharusnya namanya “Iedul Fithroh” (bukan ‘Iedul Fitri). Adapun dari sisi
syar’i, terdapat hadits yang menerangkan bahwa Iedul Fitri adalah hari dimana
kaum muslimin kembali berbuka puasa.
Dari
Abu Huroiroh berkata: “Bahwasanya Nabi shollallohu’alaihi wa sallam telah
bersabda: ‘Puasa itu adalah hari di mana kalian berpuasa, dan (’iedul) fitri
adalah hari di mana kamu sekalian berbuka…’” (HR. Tirmidzi dan Abu dawud,
shohih) (Majalah As Sunnah 05/I, Ustadz Abdul Hakim). Oleh karena itu, makna
yang tepat dari “Iedul Fitri” adalah kembali berbuka (setelah sebelumnya
berpuasa).
B.
Sunnah – Sunnah dalam Hari Raya ‘Idul Fitri
Para
ulama telah menjelaskan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan
hari raya, diantaranya:
1. Mandi pada hari raya.
Disunnahkan
bersuci dengan mandi untuk hari raya karena hari itu adalah tempat berkumpulnya
manusia untuk sholat. Namun, apabila hanya berwudhu saja, itu pun sah. (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh At
Thoyyar – edisi Indonesia). Dari Nafi’, bahwasanya Ibnu Umar mandi pada saat
‘Iedul fitri sebelum pergi ke tanah lapang untuk sholat (HR. Malik, sanadnya
shohih). Berkata pula Imam Sa’id bin Al Musayyib, “Hal-hal yang disunnahkan
saat Iedul Fitri (di antaranya) ada tiga: Berjalan menuju tanah lapang, makan
sebelum sholat ‘Ied, dan mandi.” (Diriwayatkan oleh Al Firyabi dengan sanad
shohih, Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri.
Disunahkan
bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik yang
dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi wanita tidak
dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah dan menggunakan
minyak wangi.
3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri.
“Dari
Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak
keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR.
Bukhari). Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa hikmah makan sebelum sholat
adalah agar jangan ada yang mengira bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied.
4. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan
pulang dari sholat ‘Ied.
Hal
ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau mengambil jalan yang berbeda
saat pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya adalah agar
orang-orang yang lewat di jalan itu bisa memberikan salam kepada orang-orang
yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan memperlihatkan syi’ar
islam.
5. Bertakbir.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya
‘ied, lalu beliau bertakbir sampai tiba tempat pelaksanaan sholat, bahkan
sampai sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil
disyari’atkannya takbir dengan suara lantang selama perjalanan menuju ke tempat
pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan suara keras yang
dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir saat Idul Fitri menurut pendapat
yang paling kuat adalah setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya.
6. Hal-Hal
yang Terkait Sholat ‘Ied Secara Ringkas
Karena terbatasnya
jumlah halaman, berikut kami ringkaskan hal-hal yang terkait dengan sholat
‘Ied, di antaranya:
- Dasar disyari’atkannya: QS. Al
Kautsar ayat 2, dan hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Aku
ikut melaksanakan sholat ‘Ied bersama Rosululloh, Abu Bakar dan Umar,
mereka mengerjakan sholat ‘Ied sebelum khutbah.” (HR. Buhori dan
Muslim)
- Hukum sholat ‘Ied: Fardhu
‘Ain, menurut pendapat terkuat.
- Waktu sholat ‘Ied: Antara terbit
matahari setinggi tombak sampai tergelincirnya matahari (waktu Dhuha),
menurut kebanyakan ulama.
- Tempat dilaksanakannya: Disunnahkan
di tanah lapang di luar perkampungan (berdasarkan perbuatan Nabi), jika
terdapat udzur dibolehkan di masjid (berdasarkan perbuatan Ali bin Abi
Tholib).
- Tata cara sholat ‘Ied: Dua roka’at
berjama’ah, dengan tujuh takbir di roka’at pertama (selain takbirotul
ihrom) dan lima takbir di roka’at kedua (selain takbir intiqol -takbir
berpindah dari rukun yang satu ke rukun yang lain).
- Adzan dan iqomah pada sholat ‘Ied:
Tidak ada adzan dan iqomah, atau seruan apapun sebelum dilaksanakan sholat
karena tidak adanya dalil untuk hal tersebut.
- Khutbah pada sholat ‘Ied: Satu kali
khutbah tanpa diselingi dengan duduk, menurut pendapat yang terkuat.
- Qodho’ sholat ‘Ied jika terluput:
Tidak perlu meng-qodho’, menurut pendapat yang terkuat.
Diperbolehkan
saling mengucapkan selamat tatkala ‘Iedul Fitri dengan “taqobbalalloohu minnaa
wa minkum” (Semoga Alloh menerima amal kita dan amal kalian) atau dengan
“a’aadahulloohu ‘alainaa wa ‘alaika bil khoiroot war rohmah” (Semoga Alloh
membalasnya bagi kita dan kalian dengan kebaikan dan rahmat) sebagaimana
diriwayatkan dari beberapa sahabat. (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh At Thoyyar –
edisi Indonesia).
7. Jika Terkumpul Hari Jum’at dan Hari Raya Dalam
Satu Hari
Jika
hari raya dan hari Jumat berbarengan dalam satu hari, gugurlah kewajiban sholat Jum’at bagi orang yang telah melaksanakan
sholat ‘Ied, namun bagi Imam hendaknya tetap mengerjakan sholat Jum’at agar
dapat dihadiri oleh orang yang ingin menghadirinya dan orang yang belum sholat
‘Ied. Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Diperbolehkan bagi mereka (kaum
muslimin), jika ‘ied jatuh pada hari Jum’at untuk mencukupkan diri dengan
sholat ‘ied saja dan tidak menghadiri sholat Jumat.” (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh
At Thoyyar – edisi Indonesia).
8. Ucapan selamat Hari Raya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya
dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana
ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat
‘ied yaitu: Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan
kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan
kepadamu) dan semisalnya.” Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa
mereka biasa melakukan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan
hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan
selamat ‘ied, Namun jika seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.”
Yang demikian itu karena menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan
memberikan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada
larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang
tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253). Ucapan
hari raya ini diucapkan hanya pada tanggal 1 Syawal.
Kemungkaran yang Biasa
Dilakukan Tatkala ‘Iedul Fitri
- Tasyabbuh
(meniru-niru) orang-orang kafir dalam pakaian dan mendengarkan
musik/nyanyian (kecuali
rebana yang dimainkan oleh wanita yang masih kecil). Rosululloh shollallohu’alaihi
wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu
kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, sanadnya
hasan) dan sabda Nabi yang lain, “Akan datang sekelompok orang
dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya haram) perzinaan, pakaian
sutra bagi laki-laki, khomr (sesuatu yang memabukkan), dan alat musik…” (HR.
Al Bukhori secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa
hadits ini shohih dan bersambung sesuai syarat shohih). Dan Ibnu
Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu mengatakan bahwa yang
dimaksud ‘Lahwal Hadits’ (perkataan yang tidak
bermanfaat) dalam surat Luqman ayat 6 adalah Al Ghinaa‘
(nyanyian).
- Tabarruj-nya
(memamerkan kecantikan) wanita, dan keluarnya mereka dari rumahnya tanpa
keperluan yang dibenarkan syariat agama.
Hal tersebut diharamkan di dalam syari’at ini, di mana Alloh
berfirman, “Dan hendaklah kamu (wanita muslimah) tetap di rumahmu
dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
jahiliyyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat serta tunaikanlah…” (QS.
Al Ahzab: 33). Dalam suatu hadits disebutkan bahwa ada dua golongan dari
ahli neraka yang tidak pernah dilihat oleh Nabi: “….salah satu di
antaranya adalah wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang (tidak
menutup seluruh tubuhnya, atau berpakaian namun tipis, atau berpakaian
ketat) yang melenggak-lenggokkan kepala. Mereka tidak akan masuk surga dan
tidak akan mencium bau surga.” (HR. Muslim)
- Berjabat
tangan dengan wanita yang bukan mahrom.
Fenomena ini merupakan musibah yang sudah sangat merata. Tidak ada yang
selamat dari musibah ini kecuali yang dirohmati Alloh. Padahal perbuatan
ini adalah haram berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu’alaihi
wa sallam, “Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan
jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal
dia sentuh.” (lihat Silsilah Al Ahadits As Shohihah 226)
(Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
- Mengkhususkan
ziarah kubur pada hari raya ‘Ied.
Tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan perintah Alloh ataupun
tuntunan Nabi untuk ziarah ke kubur pada saat ‘Iedul Fitri. Ziarah kubur
memang termasuk ibadah yang disyariatkan, namun, pengkhususan waktu untuk
ziarah saat ‘Iedul Fitri membutuhkan dalil. Jika tidak terdapat dalil,
perbuatan tersebut bukan tuntunan Nabi dan tidak boleh dilaksanakan.
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang beramal suatu amalan (untuk tujuan ibadah) di mana tidak termasuk
dalam urusan kami, maka amalnya tersebut tertolak (tidak akan diterima).” (HR.
Muslim)
- Begadang
saat malam ‘Iedul Fitri.
Banyak di antara kaum muslimin yang menghidupkan malam ‘Ied dengan takbir
via mikrofon. Hal ini sangat mengganggu kaum muslimin yang hendak
beristirahat. Hukum mengganggu orang lain adalah haram. Rosululloh shollallohu’alaihi
wa sallam bersabda, “Muslim (yang baik) adalah yang tidak
mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR.
Muslim). Sehingga jika memang hendak bertakbir, hendaknya tidak dengan
suara yang keras. Ada lagi di antara kaum muslimin yang menjadikan malam
‘Ied untuk begadang dengan bermain catur, kartu atau sekedar ngobrol tanpa
tujuan. Akibatnya, tatkala pagi datang, kebanyakan dari mereka sulit
menjalankan sholat subuh secara berjamaah. Bahkan ada yang sampai ogah-ogahan menjalankan
sholat ‘Ied.
Demikian,
semoga tulisan ini bermanfaat. Semoga Alloh memberikan balasan yang baik bagi
yang menulis, membaca, dan yang menyebarkannya.
Sumber
: https://muslim.or.id
Komentar
Posting Komentar